Minggu, 25 April 2010

Cermin Kehidupan

Hari ini kembali aku disadarkan betapa pentingnya bercermin. Bukan bercermin pada cermin yang terbuat dari kaca yang biasa dilakukan ketika menyisir rambut. Ya bagi laki-laki sepertiku kaca cermin acapkali hanya dipakai ketika menyisir rambut saja. Tidak seperti perempuan yang memakai kaca cermin untuk berlama-lama mematut diri, bukan hanya rambut tapi juga mematut bibir dengan lipstik ditambah gaya senyum, mematut alis, bulu mata ditambah cara memandang atau melirik, belum lagi mematut baju ditambah cara berjalan, memutar punggung dan sebagainya. Bukan. Bukan itu yang kumaksudkan, melainkan bercermin pada kehidupan yang terbentang di hadapan kita. Kehidupan telah menyediakan begitu banyak cermin untuk dapat menunjukkan siapa dan bagaimana kita dalam kehidupan ini. Ada cermin yang menampilkan gambar buruk yang menyedihkan maupun gambar bagus yang membahagiakan.

Cermin pertama yang kujumpai adalah kabar salah satu kerabatku yang tersandung masalah keluarga, tepatnya dugaan perselingkuhan. Agak heran aku mengapa anaknya mengadu padaku, padahal aku jauh lebih muda dari orangtuanya. Bagaimana mungkin aku akan menasehati orang yang dalam hubungan kerabat lebih tua? Tapi paling tidak aku mendapatkan cermin berharga agar diriku tidak seburuk dalam cermin itu. Alhamdulillah sampai saat ini aku masih diberi kekuatan oleh Allah untuk tidak terjerumus permasalahan seperti itu. Bagaimanapun kondisi pasangan kita sudah sepantasnya untuk tetap kita hargai, karena ia adalah anugerah sekaligus amanat Tuhan untuk kita syukuri dan jaga. Bukan untuk disakiti atau kita telantarkan. Aku jadi ingat kata orang2 bijak bahwa kalau hidup kita ingin sukses dan mulia salah satunya adalah sayangi, muliakan dan jangan sampai sakiti istri.

Cermin kedua hari ini adalah berita tentang anakku, Salman, yang hampir saja tidak diterima di SD Islam favorit di kotaku. Betapa kecewanya dia jika tidak bisa masuk SD idamannya itu. Ya Allah bukan main sedihku, padahal bagiku dia anak yang cerdas dan cepat belajar. Aku jadi berintrospeksi sebagai orangtua mungkin aku lengah dalam beribadah dan berdoa kepada-Nya. Sebagai orangtua dengan berbagai beban dan tanggungjawab yang berat dalam membina dan mengarahkan anak2ku, sudah sepantasnya aku harus lebih banyak menundukkan pandangan terhadap godaan2 syahwat duniawi dan lebih banyak menengadahkan tangan, bermunajat dalam ibadah dan doa mohon pertolongan Yang Maha Kuasa agar diberikan bantuan dan keringanan dalam mengemban amanah ini.

Dan cermin ketigaku hari ini adalah aku melihat betapa maha luasnya rejeki yang Allah berikan untuk hamba Nya di muka bumi ini. Hari minggu adalah hari raya bagi masyarakat Kwitang. Ribuan orang berduyun-duyun untuk mengikuti pengajian para Habib di Islamic Center Habib Ali Al Habsy Kwitang dan berziarah ke makam Habib Ali Al Habsy. Tapi bukan itu saja yang menakjubkan, melainkan ratusan orang yang berjualan, dari makanan, pakain, sampai peralatan rumah tangga. Subhanallah begitu banyak yang jualan tetapi semua Allah beri rejeki-Nya. Ini cermin bagiku untuk bersyukur karena untuk mendapatkan rejeki mereka mati-matian bekerja dan memperebutkannya dengan banyak orang, sementara aku yang kerjanya di kantoran tidak merasakan perjuangan seberat mereka setiap harinya. Aku harus lebih giat bekerja agar upah yang kuterima menjadi berkah. Selain itu ini juga merupakan cermin bagiku bahwa Allah menjamin ummat-Nya tidak akan miskin jika mereka mau bekerja dan berusaha dengan sungguh-sungguh, apalagi disertai doa dan ketaatan kepada-Nya. Yakinlah.

Ya inilah yang bisa kumaknai dari jejak langkahku hari ini, semoga membuatkan semakin bijak dalam melangkah, menapaki jalan terjal berliku, agar sampai ketujuanku dan menjadikanku orang yang menang (berjaya/muflihun) nantinya. Dan salah satu bekal untuk itu adalah dengan banyak-banyak bercermin.

Minggu, 31 Januari 2010

Hidup Berpisah Dengan Keluarga Karena Kerja

Telah setahun lebih aku berpisah dengan keluarga karena tuntutan pekerjaan. Hari ini istriku nelpon air jetpump ga mengalir, padahal itulah satu2nya sumber air di rumah kami. Saluaran air PDAM belum menjangkau rumah kami. Aku sedih, sudah beberapa kali mesin airku rusak dan diperbaiki. kali ini rusak lagi dan aku harus menghubungi tukang sumur yang biasa memperbaiki. Tapi sedihku bukan karena mesin yang rusak saja, tapi lebih dari itu kasihan pada istriku yang meskipun bisa berbagi masalah lewat telepon, tapi toh dia yang merasakan sendirian di sana. Aku jadi berpikir harus berapa lama aku berpisah dengan istriku karena pekerjaan ini? Aku jadi berpikir mungkinkah membawa anak dan istriku ke jakarta agar kami bisa merasakan suka dan duka bersama? Memang berat rasanya, apalagi baru saja aku menyelesaikan pembangunan rumah kami di kampung yang masih harus mengangsur cicilan di bank. Sementara di jakarta palingpun kalo bisa cari rumah nun jauh di pinggiran sana dengan berbagai masalah baru yang siap menanti: kemacetan di jalan, sekolah anak dan belum lagi cicilan baru yang harus ditanggung. Tapi rasanya suka duka bersama jauh lebih nikmat daripada berpisah seperti ini. Ya Allahberikan kami jalan keluar terbaik dari masalah yang kami hadapi ini.